Tuesday 21 January 2014

Mengapa (Tidak) Menonton Film Korea?


sumber : http://www.angelfire.com/pro/perpika/filmkorea.html 

Jumat, 10 Oktober 2003 
Ratih Pratiwi Anwar, 
Mahasiswa Korean Movie Class, Fall-Winter Course 2002 Kyung Hee University, Korea 
Peneliti di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Korea UGM 

Sepekan Film Korea IV telah terselenggara di Jogjakarta tanggal 16-20 September lalu untuk memberi kesempatan masyarakat mengapresiasi sinema Korea. Masyarakat menyambutnya dengan sangat antusias, terlihat dari satu film ditonton rata-rata 600 orang. Apakah ini berarti sinema Korea sudah diterima masyarakat Indonesia?

Setelah kesuksesan sinetron Taiwan Meteor Garden, pemirsa Indonesia melihat bahwa serial teve dan film Asia, termasuk dari Korea, merupakan alternatif tontonan yang menarik. Itu sebabnya ketika serial Korea seperti Winter Sonata, Endless Love, Hotelier, atau All About Eve memasuki layar kaca Indonesia mendapat sambutan yang hangat. Namun dibandingkan dengan Cina, Jepang dan Taiwan yang secara budaya dan geografis dekat dengan Korea, Indonesia dan negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Singapura dan Vietnam memang terlambat mengenal hallyu. Istilah hallyu muncul di Cina tahun 1997 untuk menyebut gelombang budaya pop Korea yang melanda generasi muda Cina. Dampaknya di Cina luar biasa karena kemudian lahirlah hahanzu, yaitu fans fanatik aktris, aktor, penyanyi dan budaya pop Korea.

Umumnya negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Perancis yang melakukan ekspansi budaya sampai ke luar batas negara. Sebab, ekspansi budaya akan berkelanjutan jika fundamental perekonomian suatu negara sudah cukup kuat (Yang Seung-yoon, 2000). Lalu mengapa Korea kini melakukan ekspansi budaya pop dan bisa mencapai pengaruh yang luas di Asia? Ada beberapa sebabnya, antara lain:

Pertama, Korea memang telah menjadi negara maju dan sejak tahun 1996 resmi menjadi anggota OECD. Kesuksesan industrialisasinya membawa pengaruh yang besar di Asia. Cina, Vietnam dan Indonesia adalah penerima investasi asing Korea dan pasar bagi produk-produk industri Korea. Ekspansi budaya umumnya mengawali atau mengikuti ekspansi ekonomi suatu negara dan menjadi salah satu strategi perluasan pasar.

Kedua, budaya pop Korea mempunyai keunikan, yaitu meskipun memadukan elemen Amerika dan Jepang, terlihat segar dengan kandungan yang kuat budaya khas Korea-nya. Kemampuan mengharmoniskan nilai Timur dan Barat ini membuat drama dan film Korea lebih disukai di Cina. Sebaliknya, sinema Jepang tidak disukai di Cina karena dianggap mengandung elemen yang terlalu ekstrem dan kebarat-baratan. Lagu pop Korea juga sangat laris di Cina karena berirama dinamis, tidak konvensional, dan dianggap mampu memuaskan jiwa dan keinginan generasi muda yang tertekan di negeri tirai besi ini. Di Jepang, film layar lebar Korea disambut hangat karena menawarkan tema-tema alternatif dan mengandung segi hiburan yang tinggi.

Ketiga, perkembangan industri budaya pop di Korea sangat pesat sepuluh tahun terakhir ini. Tahun 1997 disebut sebagai tahun kebangkitan film Korea dengan digunakannya pendekatan baru dalam memproduksi film, yaitu lebih menonjolkan tema individualisme (yang merupakan kecenderungan masyarakat Korea sekarang), kreativitas, dan kebebasan berekspresi. Hasilnya muncul berbagai jenis tema, film, dan lahir pula sutradara-sutradara film independen. Pendekatan baru ini meningkatkan gairah untuk membuat film, termasuk film-film pendek yang didukung penayangannya oleh bioskop-bioskop lokal.

Keempat, pertumbuhan industri film di Korea tak lepas dari peran pemerintah. Di samping memberlakukan kuota tayang (minimal 106 hari per tahun untuk film domestik), pemerintah Korea melakukan revitalisasi industri film domestik sejak tahun 1973 melalui Komisi Film Korea (KOFIC).

Aktivitas KOFIC dibagi dalam lima departemen yaitu, Departemen Promosi menyediakan dana dan berbagai bantuan untuk film lokal. Departemen Promosi Internasional bertugas mempromosikan film Korea di luar negeri. Departemen Pendidikan mengelola Akademi Film Korea dan Akademi Film Animasi Korea serta mendukung 40 institut perfilman di Korea. Departemen R&D yang membuat penelitian, statistik film, dan publikasi. KOFIC juga mengelola studio out-door dan in-door di Seoul Complex Studio untuk mendongkrak mutu visual sinema Korea.

Beberapa kegiatan KOFIC yang menarik adalah lomba penulisan skenario film dua kali setahun, sedangkan untuk skenario film animasi sekali setahun. Pemenangnya mendapat hadiah uang yang lumayan besar. KOFIC menyeleksi dan mendanai film pendek, film dokumentasi, film independen dan film animasi. Untuk mempromosikan film Korea di luar negeri, KOFIC membuat terjemahan film Korea dalam berbagai bahasa seperti Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina, Rusia, dan Spanyol. KOFIC mendukung ikut sertanya sinema Korea di festival-festival film internasional bergengsi, disamping Korea sendiri sering menjadi tuan rumah seperti di Busan Internasional Film Festival. Jika tahun 1999 sejumlah 80 film Korea diikutsertakan di 73 festival film internasional, maka tahun 2002 lalu jumlahnya meningkat menjadi 280 film (KOFIC, 2002).

Hasilnya tidak sia-sia dan beberapa film Korea meraih penghargaan internasional. Tahun 2002 lalu film Chihwaseoun dan Oasis memenangkan Sutradara Terbaik pada Festival Film Internasional di Cannes dan di Venice. Film animasi My Beautiful Girl, Mari mendapatkan grand prize pada Festival Film Animasi Internasional. Film-film terlaris tahun 2001 seperti My Sassy Girl dan My Wife is A Gangster, masing-masing dibeli oleh Dreamworks Pictures dan Miramax International untuk dibuat versi Amerikanya (Cinemags, April-Mei, 2003).

Di dalam negeri film Korea juga sukses mendatangkan banyak penonton. Statistik film yang dirilis KOFIC memperlihatkan film lokal mampu menggeser dominasi film impor, terutama dari Hollywood. Jika pada tahun 1991 di Korea pangsa penonton film lokal hanya 21 persen, maka pada tahun 2001 melonjak jadi 50 persen, justru saat kuota tayang makin dikurangi. Dari 10 film terlaris di Korea tahun 2001, enam adalah buatan lokal dimana rangking satu sampai lima diduduki oleh film Korea. Film yang menjadi box office tahun 2001 adalah Friend yang ditonton 2,5 juta orang. Tahun 2002 lalu kembali film lokal menendang film Hollywood. Dari 10 film paling laris di Korea, lima di antaranya produksi lokal. Film The Way Home yang disutradarai oleh sutradara muda perempuan Lee Jeong-hyang menjadi box office dan ditonton lebih dari 1,5 juta orang di Korea.

Film-film terlaris tahun 2001 dan 2002 bercerita tentang realitas sosial masyarakat Korea. Film Friend menuturkan hubungan pertemanan dan per-gangster-an yang merupakan bentuk hubungan sosial dan kenyataan hidup di Korea. Sedangkan The Way Home yang diputar dalam Pekan Film Korea IV menyentil runtuhnya keagungan relasi anak-orang tua di Korea. Masyarakat Korea yang dulu menekankan pentingnya menghormati orang tua, kini terkesan mulai mengabaikan orang tua. Film ini membuat banyak orang Korea merasa ¡°sangat bersalah¡± karena meninggalkan orang tua mereka yang jompo sendirian di kampung, sementara mereka sibuk dengan urusan masing-masing di kota besar.

Adakah sesuatu yang bermanfaat dari gelombang budaya pop Korea ini? Masyarakat Indonesia setidaknya punya alternatif baru jenis tontonan. Hanya saja mungkin sebaiknya kita meniru orang Cina yang pilih-pilih apa yang ditonton. Suatu film bercerita tentang isu, budaya, sistem sosial, atau karakter orang yang memerlukan apresiasi sebelum kita memetik suatu nilai darinya. Apresiasi tentang budaya Korea yang mencukupi tentunya sangat bermanfaat agar lebih memahami suatu permasalahan yang disuguhkan lewat film.

Sebagai contoh, menonton film Korea bertema gangster atau mafia seperti Guns and Talks atau Friend (keduanya produksi tahun 2001) lebih asyik jika tahu bahwa masyarakat Korea adalah masyarakat patriarkal dengan hubungan antar lapisan sosial yang ketat. Tema gangster dan mafia yang menjadi genre sinema Korea akhir-akhir ini muncul akibat frustasi masyarakat atas tergerusnya nilai-nilai tradisional, diskriminasi gender, dan ketidakpastian politik. Dalam film bertema gangter atau mafia, orang Korea mencoba menyusun suatu keluarga artifisial dimana laki-laki tetap dominan dalam masyarakat (Kim Sohee, 2002).

Namun tanpa tahu menahu tentang Korea sebelumnya, tidak disalahkan jika menonton sinema Korea. Sambil menonton kita mulai mengenal kehidupan bangsa, adat istiadat dan karakter orang Korea. Dari film Korea bertema kekerasan dapat kita saksikan kekerasan sosial dalam masyarakat Korea sebagai akibat negara mereka dijajah Jepang selama 35 tahun, perang saudara pada periode 1950-1953, periode diktator militer, dan periode perang dingin dengan Korea Utara yang tak kunjung berakhir.

Melihat orang Korea berakting di berbagai macam tema film, kadang-kadang muncul pertanyaan: mengapa sering ada adegan orang Korea menangis atau adegan yang sentimentil? Dari adegan menangis ini ternyata kita bisa mengenal karakter orang Korea. Lee O-Young, mantan Menteri Kebudayaan Korea, mengatakan bukan orang Korea kalau tidak bisa menangis. Jika sedih orang Korea menangis, jika bahagia juga menangis. Meskipun suku Indian Sioux di Amerika terkenal sebagai suku yang paling mudah menangis, tak ada yang menandingi orang Korea dalam hal menangis akibat lamanya mereka hidup dalam penderitaan karena keterbatasan sumber daya alam, iklim yang keras, perang dan kediktatoran. Tak heran jika aktor dan artis Korea bisa berakting menangis dengan sangat piawai dan membuat perasaan penonton ikut sentimentil.

Film juga dapat menjadi media untuk peningkatan pemahaman budaya antar negara dan alat diplomasi. Selama ini budaya pop Korea telah mendukung keberhasilan Korea dalam hubungan diplomasinya dengan negara-negara di ASEAN. Film dan musik Korea telah mengubah persepsi orang Vietnam terhadap Korea yang menjadi sekutu Amerika Serikat waktu perang Vietnam. Perasaan benci berubah menjadi hubungan romantis dan sentimentil generasi muda Vietnam dengan artis dan musisi Korea. Banyak generasi muda Vietnam kini juga menjadikan Korea sebagai kiblat budaya pop, mode, dan standar kemakmuran.

Di Indonesia sinema maupun musik Korea belum begitu sepopuler di Vietnam. Ini karena masih sedikitnya pemutaran film Korea di teve atau di bioskop serta sedikitnya resensi tentang sinema dan musik Korea. Bagi orang awam juga sulit membedakan film Korea dari film Jepang, Hongkong atau Taiwan karena aktor atau artisnya mempunyai ciri-ciri fisik yang hampir sama. Cara mudah untuk mengenali film Korea adalah bahasanya (jika tanpa dubbing) atau dari nama pemainnya karena nama mereka berbeda dengan nama Jepang atau Cina.

Film Korea produksi tahun 2001-2002 yang sudah banyak beredar VCD-nya di sini dapat dikenali dari sampulnya. Nama aktor-aktrisnya biasanya ditulis dengan huruf hangeul (alfabet Korea) dan dengan sistem penulisan nama yang unik. Nama Korea terdiri dari tiga suku kata dengan nama marga seperti Kim, Lee, Anh, Lim, Choi, Park atau Yang. Dalam film nama marga jarang disebut, sehingga hanya dipanggil Sang-yeon, Jung-woo, Jae-young dan Ha-yeon (dalam Guns and Talks).

Permintaan film Korea di Indonesia diprediksikan meningkat karena pesatnya hubungan ekonomi Indonesia-Korea. Keinginan untuk menguasai bahasa Korea muncul dari banyaknya mahasiswa dan masyarakat yang ingin bekerja di perusahaan Korea seperti LG, Hyundai atau Samsung, atau mereka yang ingin bekerja di Korea. Perusahaan Korea di Indonesia juga mengajukan syarat penguasaan bahasa Korea bagi yang melamar kerja. Jadi film Korea bisa berperan dalam memperlancar penguasaan bahasa Korea dan untuk mengenal budaya dan watak orang Korea yang akan ditemui di tempat kerja. *** 

Referensi:

Kim Sohee, ¡°A Review of Korean Cinema in 2002¡±, Korean Cinema 2002, KOFIC, Seoul

KOFIC, ¡°The Korean Film Commission¡±, Korean Cinema 2002, KOFIC, Seoul

My Wife is A Gangster, The Most Powerful Lethal Weapon is in a Woman!, Cinemags Edisi 46/Mei 2003

My Sassy Girl, A Big-Hearted Boy and His Eccentric Girl Friend, Cinemags Edisi 45 April 2003

Kim Youn-jung, ¡°Korean Pop Culture Craze Hallyu Sweeps through Asia,¡± Korea Pictorial, Seoul

Yang Seoung-Yoon, ¡°Expanding Cultural Exchange with Southeast Asia¡±, Korea Focus, January-February, 2000

Lee O-Young, In This Earth and In That Wind, This Is Korea, Hollym Corporation and Royal Asiatic Society, Seoul, Korea, 1967

No comments:

Post a Comment