Saturday 5 January 2013

Ketika Akhwat Menikah

Bila ada teman yang menikah, baik itu ikhwan maupun akhwat ada dua rasa, yaitu gembira dan sedih. Jika dipersenkan 20 persen untuk gembira, sisanya sedih.

Tidak bermaksud untuk tidak senang dengan kebahagiaan orang lain, namun menikah berarti akan mengurangi kegiatan, terutama aktivitas dakwah di luar rumah yang membutuhkan banyak SDM.

Dari pengalaman yang sudah - sudah, para akhwat yang menikah mengalami perubahan aktivitas hampir 180 derajat dibanding dengan sebelum menikah. Ketika belum menikah ia adalah akhwat yang mobile, bisa dimintai tolong untuk mengurus ini dan itu, ke sana kemari dengan gesitnya, namun setelah menikah sang akhwat akan meninggalkan aktivitas tersebut almost 90 persen. 

Dalam sebuah pertemuan, hal ini pernah dibahas mengapa kejadiannya menjadi seperti ini. Tergerusnya kader akhwat militan karena pernikahan mengakibatkan berkurangnya pasukan di lini terdepan. Padahal dalam sebuah pertempuran lini terdepan memiliki peranan penting dalam kemenangan.  

Seorang ustdzah pernah berkata, fenomena seperti itu biasa saja karena memang ketika akhwat sudah menikah, maka medan dakwahnya otomatis akan berubah dari sebelumnya. Sedikit yang masih bisa mempertahankan aktivitas dakwahnya seperti sebelum menikah. Seorang akhwat yang sudah menikah memiliki kewajiban untuk melayani suami dan keluarga. Bagi akhwat, keluarga adalah yang paling penting dan paling utama. Suami dan anak - anaknya memiliki hak yang lebih besar terhadap diri akhwat tersebut.

Lalu sebuah pertanyaan muncul, di mana hak ummat terhadap diri akhwat itu?

Ustadzah itu melanjutkan, dulunya ia juga demikian. Menikah membuatnya seolah - olah tenggelam dari aktivitas luar. Apalagi setelah memiliki anak. Tapi tidak serta merta ia tak berbuat apa - apa. Ia menyibukkan dirinya untuk menulis buku sehingga dalam rangka waktu beliau tidak muncul, ia sudah menerbitkan buku - buku yang dapat dibaca oleh orang banyak.

Ya bisa saja seorang akhwat yang menikah berbuat demikian. 

Namun ada dilema yang muncul ketika harus dihadapkan tentang fakta minimnya sumber daya manusia yang mampu membina ummat, terutama yang berasal dari kalangan muda seperti siswa dan mahasiswa. 

Seperti sudah diketahui, objek dakwah perempuan lebih banyak daripada laki - laki, yang berarti ianya juga membutuhkan lebih banyak akhwat yang siap untuk diterjunkan untuk langsung membina mereka. 

Ada sebuah hal yang sangat kontras yang seringkali terjadi di lapangan (telah disinggung di atas). Permasalahan tak pernah jauh dari kekurangan kader akhwat untuk membina. 

Suatu waktu ada begitu banyak akhwat yang siap untuk membina dan bahkan sudah memegang beberapa kelompok binaan yang berjalan dengan baik. Lalu tiba saatnya sang akhwat menikah, kelompok itu entah ke mana. 

Tidak ada yang ngantar, suami lagi keluar kota, tempat terlalu jauh dari rumah, anak sakit dan alasan - alasan lain untuk berhenti menjadi pembina. 

Keadaan setiap orang memang berbeda, ia akan menjadi sama jika satu tujuan yang ingin dicapai. 

Kondisi seperti inilah yang membuat sedih ketika ada undangan dari akhwat untuk menikah. 

Akhwat menikah berarti mengurangi satu pembina 
Akhwat menikah berarti mengurangi jumlah pasukan di lini terdepan untuk pembinaan secara berkelompok
Akhwat menikah berarti organisasi kehilangan satu kaki tempat berpijak

Terkadang geli sendiri ketika para suami sibuk menghubungi untuk mencarikan pembina bagi siswa dan mahasiswa. Saat penyakit hati muncul, ingin berkata, "Lah istri - istrinya aja pak, masak sudah menikah tidak membina lagi"

Kemudian, ada yang nyeletuk, "Istri saya sedang membina mujahid/ah kami yang baru mohon doanya agar jadi anak sholeh/ah"

Atau, "Jangan bicarakan kondisi ideal karena antum belum berada di posisi tersebut"

*selalu dalam rangka meluruskan niat, memperbaharui semangat, agar sehat dan full manfaat 




No comments:

Post a Comment