Wednesday 27 January 2010

Galaunya Pemerintahan SBY Menuju Evaluasi 100 Hari Pertama

Tradisi program 100 hari bagi seorang presiden di Indonesia dikenal sejak masa reformasi. Waktu tiga bulan masa pemerintahan begitu dinanti-nanti oleh seluruh kalangan masyarakat yang penasaran kira-kira langkah apa saja yang sudah diambil oleh presiden. Kemudian prestasi apa saja yang sudah dicapai dalam rentang waktu tersebut.

Akhir Januari ini bertepatan dengan 100 hari pemerintahan SBY – Boediono. SBY – Boediono menetapkan lima strategi pokok selama 5 tahun yang kemudian dikembangkan menjadi 15 program kerja pilihan pada 100 hari pertama. Lima strategi tersebut adalah pertama, melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Kedua, melanjutkan upaya menciptakan good government dan good corporate governance. Ketiga, demokratisasi pembangunan dengan memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa. Keempat, melanjutkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan memberantas korupsi. Kelima, belajar dari pengalaman yang lalu dan dari negara-negara lain, pembangunan masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang inklusif bagi segenap komponen bangsa.

Dari kelima strategi itu, Presiden SBY menetapkan 15 program kerja 100 hari pertama yang disampaikan setelah Sidang Kabinet pada 5 November 2009 lalu di Kantor Presiden, Komplek Istana, Jakarta.

Program – program tersebut meliputi pemberantasan mafia hukum, revitalisasi industri pertahanan, penanggulangan terorisme, meningkatkan daya listrik di seluruh Indonesia, meningkatkan produksi dan ketahanan pangan, revitalisasi pabrik pupuk dan gula, mengurai keruwetan agrarian dan tata ruang, membangun infrastruktur, mengucurkan dana Rp. 100 triliun per tahun untuk kredit Usaha Kecil dan Menengah, mencari solusi pembiayaan dan investasi, merumuskan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim dan lingkungan, reformasi kesehatan, mensinkronkan antara pendidikan dan dunia kerja, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, serta sinergi antara pusat dan daerah.

Begitu program ini muncul, banyak kalangan yang memandang negative terhadap pelaksanaannya 100 hari ke depan. Program kerja dinilai omong kosong, hanya sebagai pencitraan, dan hanya untuk menjalankan tradisi yang sudah berjalan sejak reformasi.

Dalam perjalanannya, SBY dan Boediono menghadapi berbagai permasalahan yang menuntut ketegasan dan keberanian presiden dalam mengambil sikap. Kasus-kasus yang bermunculan satu persatu benar-benar menguji pemerintahan SBY. Saat Antasari Azhar ketua KPK tersandung kasus pembunuhan, yang lain pun bermunculan. Terakhir kasus Bank Century yang sangat controversial karena melibatkan Boediono sang wakil presiden dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan.

Orang-orang terdekat beliau yang terlibat kasus membuat presiden melemah sehingga menghambat program kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, kesetiaan pun sulit ia dapatkan. Manakah pihak yang benar-benar berpihak padanya dan manakah pihak yang menjadi musuh dalam selimut.

Untuk masalah pembangunan, hambatan presiden adalah masalah anggaran. Sebagian besar biaya untuk pembangunan berasal dari APBN. Ini tentu saja memberatkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan yang merata. Sementara itu APBD lebih banyak dihabiskan untuk gaji dan biaya-biaya birokrasi sehingga anggaran untuk pembangunan sangat kecil sekali.

Evaluasi 100 Hari SBY – Boediono
Mengenai evaluasi program kerja 100 hari SBY, maka pertanyaan yang akan muncul ialah indikator apa yang akan digunakan dalam penilaian tersebut? Di Amerika Serikat, hal tersebut dinilai dari berapa undang-undang yang mampu diloloskan demi suatu perubahan ke arah yang lebih baik dalam rentang waktu tersebut. Nah, di Indonesia indikator seperti apakah yang dapat mengevaluasi program-program ini?

Penulis mencoba mengumpulkan pendapat masyarakat mengenai program kerja 100 hari SBY – Boediono. Masyarakat menilai program ini gagal total alias tidak berhasil. Pertama, tidak tegasnya SBY dalam menyikapi kasus perseteruan antara Kapolri dan KPK beberapa waktu lalu yang juga dinilai sangat lambat penanganannya oleh masyarakat. Ini sudah cukup menjadi bukti ketidak konsistenan beliau untuk memberantas kasus korupsi. Kedua, belum maksimalnya kerja para menteri. Hingga saat ini belum ada menteri yang mampu menunjukkan prestasinya. Menurut pengamat politik dari Univesitas Airlangga, belum ada menteri yang menonjol, tapi tidak ada juga menteri yang tidak kompeten sama sekali. Ketiga, tersitanya waktu presiden dalam menyelesaikan kasus Bank Century yang berujung pada hak angket yang diajukan oleh anggota DPR. Keempat, tindakan fatal yang dilakukan oleh presiden dalam kebijakan luar negerinya dengan Cina di bidang ekonomi yang terkesan tidak mempedulikan pengusaha lokal.

Gembar-gembor 100 hari SBY Boediono menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat. Beberapa kalangan memprediksikan bahwa evaluasi ini akan berujung pada reshuffle kabinet di mana SBY kembali akan mengganti menteri-menteri yang dianggapnya tidak dapat berkerja dengan baik seperti yang pernah dilakukan pada periode sebelumnya. Kemudian mahasiswa yang ikut meramaikan jalanan tanggal 28 Januari 2010 menuntut agar SBY mundur karena sudah tidak layak untuk melanjutkan kekuasaannya. Isu impeachment terhadap presiden ini sangat sensitif sekali karena mengingatkan penulis akan pemimpin sebelumnya yaitu mantan presiden Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang juga diturunkan oleh mahasiswa. Dan jika hal itu terjadi lagi, berarti bangsa ini harus kembali ke titik awal.

Mengenai masalah pemecatan beberapa menteri, tanggapan yang muncul sangat beragam. Pertama, bila memang SBY melakukan hal tersebut itu artinya bahwa susunan kabinet saat ini sudah salah dari awal. Ketidakpercayaan masyarakat kepada SBY dalam memilih orang-orang yang akan bekerja padanya untuk bersama-sama membangun Indonesia akan semakin besar. Kedua, pemecatan beberapa menteri penulis rasa tidak pantas karena 100 hari tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kinerja mereka secara keseluruhan. Seharusnya menteri-menteri ini diberikan waktu lebih lama untuk membantu presiden.

Semoga evaluasi 100 hari ini dapat dijadikan cermin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya Boediono beserta jajaran menteri akan pemerintahan mereka. Penulis berharap, reaksi masyarakat akan membuat dua penguasa ini dan menterinya, terutama sang presiden lebih tegas dalam bersikap dan menghilangkan rasa takut yang berlebihan. Tunjukkan pada masyarakat bahwa ia masih mampu memimpin Indonesia 5 tahun ke depan. Jika hal tersebut tidak sanggup dilaksanakan, maka pilihan terakhir adalah mundur dari kursi kepresidenan karena sudah tidak ada gunanya lagi mempertahankan rezim kekuasaannya.

Tanjungpinang, 27 Januari 2010
Dalam usaha menganalisa suatu masalah

No comments:

Post a Comment